Saya Prajuritnya!

kisahdunia-yubus.blogspot.com

Yubus ID

Foto saya
Saya suka sesuatu yang menceritakan sesuatu

Unsur Kisah

Idolanya, Inspirasi Dia Masuk Islam 16.25

Idolanya, inspirasi Dia Masuk islam

Keislaman Seorang Petinju Dunia,

Mike Tyson

 

Malik Abdul Aziz, itulah namanya sekarang. Sang petinju Amerika itu terpanggil untuk membaca 2 kalimat syahadat ketika kasus pemerkosaan memaksa ia masuk penjara. Ia pun sekarang menjadi orang yang berbeda dari apa yang pernah dikenal oleh manusia.

 

Namanya dulu, Mike Tyson adalah seseorang yang sombong dan angkuh yang menjadikan tujuan hidupnya untuk mematahkan batang hidung musuhnya di dalam ring tinju.

 

Pada masa di penjara selama 3 tahun itu membantu Malik untuk berfikir keras dalam memeluk Islam, di dalam keheningan penjara. Malik mendapatkan kesempatan untuk mengevaluasi perjalanan hidupnya di dalam ring tinju atau diluar itu. Selama dipenjara itulah Malik berkeinginan besar untuk memilih islam sebagai agamanya. Di dalam penjara, ia pun banyak mempelajari islam dari seorang ustad Muhammad Shadiq. Baginya, islam membantu ia mengatasi problem hidupnya.

 

Setelah keluar dari penjara, dia langsung menuju masjid terdekat untuk melaksanakan sholat sebagai rasa syukur dan puji kepada-Nya karena telah mengizinkannya untuk memeluk islam.

 

Lalu, apakah sang petinju legendaris itu akan kembali ke ring tinju? Tyson telah memberitahukan kepada Louis sahabatnya bahwa dirinya sangat gelisah untuk kembali ke ring tinju.

 

Sekarang, Malik telah menjadi orang yang penyayang dan lebih rendah hati serta terhormat. Dia pun menemukan kesabaran dan hiburan yang menakjubkan di dalam sholat lima waktu.


Akhirnya, cita-cita Mike Tyson tercapai. Yaitu untuk mengikuti jejak Casius Clay, sang petinju legendaris Amerika yang terkenal setelah masuk islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad Ali.

Oleh : Shalahuddin Al-Ayuby (Yubus)

 

Kuli Berjilbab 20.04

Kuli Berjilbab
Coretan Shalahuddin Al-Ayuby (yubus)

“Ayo, cepat buka jilbabmu,” kata laki-laki berkumis tebal, tetapi tidak rapi itu.
“Tidak, aku tidak mau membuka jilbab ini. Ini agamaku, ini imanku, aku tidak akan pernah melepaskannya,” kata wanita itu sambil menahan jilbabnya yang ditarik-tarik.
“Kamu ini bodoh, kau mau mati atau hidup!”
“Ini amanah dari ibu, aku harus menjaga amanah ini,” wanita itu sembari menangis.
Matahari sebentar lagi akan terbenam. Laki-laki bertatokan naga di lengan kirinya itu, melepas genggamannya dari jilbab yang dipakai wanita itu. Wanita itu tetap menangis.
“Awas kamu! Dasar payah, mau di kasih hidup enak malah nggak mau. Aku pergi dulu,” kata laki-laki itu sebelum meninggalkan wanita itu.
Mata wanita itu mengikuti langkah kaki laki-laki itu keluar dari rumah kardus beratapkan seng milik wanita itu.
Sudah dua tahun lamanya Minah di tinggal meninggal oleh ibunya. Ibunya meninggal karena sakit. Sekarang, Minah tinggal berdua dengan ayahnya. Menyedihkan! Apalagi kalau laki-laki tadi memang ayahnya.
Jamal selalu menyiksa Minah dan Minah pun selalu menangis karenanya. Pernah suatu hari Jamal meminta uang kepada Minah untuk berjudi dan mabuk-mabukkan. Namun, saat itu Minah yang sehari-harinya bekerja sebagai kuli bangunan. Sedang tidak bekerja karena sedang tidak enak badan. Jeritan Minah pun bergema karena disiksa oleh ayahnya. Mungkin, ibunya meninggal karena punya suami seperti Jamal.
Sial! Penderitaan Minah tidak sampai di situ saja. Jamal tidak puas dengan uang hasil Minah menjadi kuli bangunan. Jamal ingin “menjual” Minah.

*****

“Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar …,” terdengar samar-samar suara azan magrib. Lampu-lampu jalanan di hidupkan. Orang-orang bodoh beranjak untuk balas dendam.
“Alhamdulilah,” suara lirih keluar dari mulut Minah.
Minah mengambil air minum mineral yang ia beli tadi untuk membatalkan puasanya.
“Kamu harus menjadi orang saleha nak,” Minah teringat dengan pesan terakhir ibunya itu. Ibu yang selalu menyayangi Minah.
Bintang tak terlihat malam itu. Bulan sembunyi malu dibalik awan gelap. Nasi bungkus yang dibeli tadi, habis dimakan Minah saat setelah selesai teraweh. Lauknya sengaja diganti oleh nasi dan sayur agar lebih banyak. Sekalian sahur tujuannya.
Angin dingin menusuk hingga ketulang. Minah yang tidur beralaskan kardus bekas, memeluk tubuhnya sendiri untuk mengusir dingin. Terdengar lirih langkah kaki yang tak berirama memecah kesunyian.
“Gubrak!” Terdengar suara pintu ditendang.
Minah tersentak kaget. Namun, Minah tidak berani membuka matanya, apalagi mendirikan tubuhnya. Minah tahu kalau itu pasti ayahnya, Jamal.
“Goyang dombret, goyang dombret, goyang dombret, goyang dombret,” suara jamal bernyanyi sambil sempoyongan, “coba kalau saya punya banyak duit, pasti tu biduan saya sewa buat ‘main’ saya.”
Minah menangis. Namun, ia tahan sekuat tenaga agar tidak terdengar oleh ayahnya. Toh, kalau terdengar juga ayahnya tidak peduli. Minah hanya berdoa kepada Allah agar ayahnya lepas dari dunia yang terkutuk itu.

*****

“Allahuakbar, Allahuakbar …, Assalatukhairumminannaum …,” azan subuh berkumandang.
Manusia-manusia selesai bersahur, langsung pergi ke masjid. Ada juga yang langsung tidur. Minah sudah tidak bisa memejamkan matanya lagi. Minah dari tadi terus menangis.
Minah membangunkan tubuhnya sendiri untuk beribadah. Minah mengambil wudu di sumur umum. Di sana sudah banyak orang mengantri untuk mengambil air.
“Bisa dua jam nih nunggunya,” pikir Minah.
Minah memutuskan pergi ke musala yang sedikit jauh dari tempatnya. Daripada menunggu kelamaan, waktu salat bisa habis.
Waktu telah menunjukkan pukul 06.30 pagi. Seharusnya surya sudah menembakkan sinarnya. Namun, yang berwarna coklat saja masih menjadi hitam. Bukannya suasana langit yang sedang sedih. Bukannya mataharinya yang sudah padam. Akan tetapi, gedung-gedung pencakar langitlah penyebab semuanya. Gedung-gedung nan tinggi itulah yang membentengi energi yang datang kepada orang-orang yang hidup di tempat seperti ini. Hidup yang sama dengan lingkungannya. Hidup seperti sampah.
Pagi-pagi seperti ini, masih ada yang tidur. Di musala tadi, ada segelintir orang yang bertadarus. Ada yang dengan semangatnya pergi menggunakan sepeda untuk pergi ke pasar, menjual dagangan. Tak ada suara burung yang berkicau. Hanya ada pengamen yang melantunkan lagu-lagu hits anak muda zaman sekarang untuk pemanasan sebelum mulai mengamen. Para banci sudah siap dengan dandanan dan goyangannya. Bahkan, ada yang baru pulang dari berjudi dan mabuk-mabukkan. Minah berlari-lari kecil menuju ke rumah. Minah tidak mau ayahnya sudah bangun. Maunya, ayahnya masih tertidur lelap dengan dengkur kerasnya.
Minah telah sampai di depan rumahnya. Minah mengatur nafasnya sebentar dengan was-was kalau ayahnya sudah bangun.
“Untung belum bangun,” suara hatinya berbicara ketika dia tahu kalau ayahnya masih tertidur.
Kalau sudah bangun, pasti ayahnya akan memaksa Minah untuk melepas jilbab dan pakaian tertutupnya dan diganti dengan rok mini nan ketat dan baju nan ketat juga. Minah dengan langkah pelan masuk ke rumah dan meletakkan mukenah dan al-qurannya. Minah masih dilindungi oleh Allah. Dia percaya, Allah akan berpihak kepada orang dengan niat baik. Minah membawa pakaian gantinya, juga karung dan pergi tanpa ketahuan anjing penjaga.

*****

Minah bekerja sebagai kuli bangunan. Memang sedikit janggal. Namun, mau berkata apa? Sekolah saja belum pernah, apalagi punya ijazah. Minah tahu, di kota besar ini, orang yang memiliki ijazah Perguruan Tinggi saja, harus menangis-tangis kalau ingin dapat pekerjaan. Apalagi orang yang berijazah SMA, SMP, dan SD. Sepertinya, “babu” sudah menjadi pekerjaan yang pantas atau yang lebih banyak uangnya, Pelacur. Bedanya, hanya yang SMA saja lebih pintar. Walau pun Minah tidak sekolah dan hidup sangat, sangat tidak berkecukupan, Minah beruntung karena Minah pernah disuruh belajar tentang agama oleh ibunya. Mencari ijazah di mata Allah.
“udah, kamu mau nggak?”
“Emang berapa duitnya?”
“yee, goblok kamu ya, malah tanya duitnya. Rupiah. 40.000 dah per hari. Gimana? Udah terima aja, cuman kamu tuh yang saya tawarin kerjaan. Saya lagi kekurangan tukang nih. Secara, saya kan temen lama almarhum.”
Entah mengapa? Jamal tidak langsung mengokkan tawaran teman istrinya itu. Saiful namanya. Jamal terdiam. Namun, raut mukanya menunjukkan kalau Jamal sedang berpikir. Bodoh! Dasar bodoh. Masih berpikir dua kali untuk rejeki seperti ini? Orang awam. Siapa tahu rejeki tidak akan menghampiri lagi kalau sombong?
“Sebentar ya. Minah, Minah!”
“Ada apa pak?”
“Udah kesini dulu.”
Kemudian, Minah pergi menemui ayahnya.
“Ipul, nih anak saya, namanya Minah. Eh pul, kamu pekerjakan saja anak saya.”
“Gemblung! Yang benar saja kawan,” Saiful terkejut, “Minah ini anak perempuan. Bisa apa dia?”
“Saya tidak mau bekerja jadi kuli.”
“Kurang ajar, kesini kamu. Kupukul kau.”
Sadis, terlampau sadis. Jilbab Minah ditarik hingga robek. Penggada yang terbuat dari kayu. Mengayun-ayun dengan kaku tanpa ampun di tubuh Minah.
Jeritan Minah terdengar hingga keluar rumah. Mungkin, orang-orang yang ada di luar dapat mendengar suatu kekejaman itu. Namun, siapa yang peduli. Individualis dipuja bak Dewa.
“Ampun, ampun, sakit, sakit,” jeritan minah.

*****


Bunyi klakson terdengar tak berirama. Bukannya menahan nafsu. Tetapi, nafsu telah menjadi majikan. Banyak yang mengeluh. Ada yang bergembira ria.
Ada proyek pembangunan hotel di dekat Taman Besar di tengah kota. Minah pun diajak untuk ambil bagian dalam proyek tersebut. Walau perempuan. Ternyata, Minah dapat bekerja layaknya laki-laki. Sudah biasa kerja yang berat-berat.
Seperti biasanya, sebelum Minah mulai pekerjaannya sebagai kuli bangunan, Minah mengumpulkan kardus dan kawan-kawannya yang bisa ia jual. Minah menyusuri setiap jalan. Kadang-kadang mengacak-acak kotak sampah kalau-kalau ada kaleng bekas atau semacamnya.
Karung Minah setengah penuh. Lumayan. Dia bisa melanjutkannya nanti sepulang kerja. Yak, sekarang waktunya ganti pakaian dan mencari rezeki dari kuli bangunan.
Minah telah sampai di tempatnya mengais rezeki. Walaupun lumayan jauh dari tempatnya disiksa ayahnya. Minah langsung mengganti pakaiannya dan mencari pak mandor. Pak Saiful.
“Assalamualikum pak mandor,” sapa Minah.
“Waalaikumsalam. Eh, kamu Minah. Gimana? Lolos?”
“Alhamdulilah pak mandor. Saya mau absent.”
“Oh ya, tanda tangan disini. Nanti kamu kerja dilantai satu aja. Bareng saya.”
“Ok pak Mandor,” jawab Minah dengan semangat.
Inilah sosok ayah yang di idamkan oleh Minah. Dia bagaikan oase di padang pasir. Dialah penolong jiwa Minah dari pemabuk. Dia juga yang memberikan pekerjaan ini. Dialah Saiful. Orang yang diangap sebagai ayahnya.

*****

Minah mendapat tugas untuk melapisi tembok kasar dengan semen. Walaupun terlihat mudah, tetapi Minah tetaplah seorang wanita, tetapi lagi Minah wanita kuat. Beberapa saat kemudian sang Mandor datang. Sambil membawa adukan semen.
“Gimana kabar si pemabuk itu? Terakhir bertemu saya kemarin,” tanya Saiful mengawali pembicaraan.
“Bertemu dimana pak mandor?”
“Dijalan.”
“Badannya sehat, tapi sempoyongan terus.”
“Kamu memang anak yang berbakti ya, salut saya.”
Seharian Minah dan Saiful mengobrol. Saiful sangat baik dengan Minah. Kalau Minah boleh memilih. Minah akan memilih Saiful sebagai ayahnya ketimbang Jamal. Pak mandorlah yang mengijinkan Minah mencari nafkah di sini.
Dari kedekatannya dengan pak Saiful. Minah sekarang tahu. Kalau orang yang dianggap ayahnya sendiri itu ternyata sudah lama di tinggal istrinya. Kira-kira sudah dua tahun. Katanya dia, istri dan anaknya meninggalkannya karena tidak puas dengan nafkah yang diberikan. Sebenarnya, Saiful tidak ingin berpisah dengan istri dan anaknya. Karena Saiful masih butuh mereka untuk menghadapi kehidupan yang di luar peri kemanusiaan ini.
Tidak terasa waktu azan berkumandang tiba. Minah ijin untuk pergi beribadah dirumah Allah terdekat. Pekerja yang lain ada yang istirahat, tidur. Ada juga yang melahap santapan sahurnya.
Selesai salat, Minah berdoa kepada yang harus kita berdoa kepada-Nya. Di dalam doanya, Minah berdoa agar ibunya diterima di sisi-Nya, agar ayahnya sadar akan kebesaran-Nya, agar Minah dikuatkan dalam segala hal oleh-Nya, agar negeri ini dapat karunia-Nya, agar seluruh makhluk Allah tetap bertasbih pada-Nya. Amin.
Minah kembali ke pekerjaannya. Ember penuh adukan semen, ia bawa bersama alat-alatnya. Minah tidak melihat pak mandor. Entah dimana dia? Minah bekerja sendiri.
Hari sudah sore. Langit berubah menjadi kuning genteng. Pak mandor belum juga muncul. Minah menarik napasnya dalam-dalam dan mengeluarkan sekencang-kencangnya. Minah penasaran. Dimana pak mandor. Lalu ia menanyakan pada tukang lain. Katanya pak mandor pergi. Tak tahu pergi kemana?
“Dasar pak mandor. Kemana dia?”
Hari telah sore. Teguran Allah berkumandang dengan sopannya ke telinga para kalifah bumi. Minah meninggalkan pekerjaannya dan pergi melepas kangen dengan rumah Allah.

*****

Minah kembali ke pekerjaannya lagi. Ember penuh adukan semen, ia bawa bersama alat-alatnya. Minah tidak melihat pak mandor lagi, entah dimana dia? Minah bekerja sendiri lagi.
Pukul 05.00 sore. Jam kerja habis. Tukang lainnya sudah pada pulang. Minah masih melanjutkan perkerjaannya. Tanggung!
“Saya sudah lama, tak merasakan nikmatnya,”
Minah terkejut, ada tangan menjulur dari belakang dan memeluk tubuh Minah.
“kakang sayang kamu Minah,” Minah mengenal suara itu.
“Apa-apaan ini. Lepaskan!”
Orang yang ada dibelakang Minah itu mempererat pelukannya. Minah berontak. Namun tidak bisa. Orang itu laki-laki.
“Saya sudah urus semuanya. Sekarang, kamu jadi milik saya.”
Laki-laki itu membalikkan tubuh Minah hingga Minah menghadap laki-laki itu. Betapa terkejutnya Minah. Ternyata apa yang diramalkan tadi benar. Ternyata ini yang ia cari-cari dari tadi.
“tolong lepaskan saya. Saya mohon.”
“diam,” orang itu menampar Minah dengan kuat.
Minah berontak. Namun, kedua tangannya sudah digenggamnya erat-erat.
Tangan laki-laki itu, mencoba menarik jilbab Minah dengan tangan kirinya.
“dug,” kepala laki-laki itu terkena pukulan martil. Kepalanya berdarah. Laki-laki itu tersungkur didepan Minah. Ternyata, saat laki-laki itu mencoba menarik jilbab Minah, Minah mengambil martil yang ada disampingnya dan memukul kepala laki-laki itu.
Kepala laki-laki tiu berdarah. Dia masih tersungkur. Minah berlari pergi dari bangunan itu.
“kurang ajar! Hai pelacur! Mau kemana kau. Aku telah membayar pada ayahmu.”
Minah berhenti. Dia menengok laki-laki itu yang telah ia anggap sebagai ayahnya sendiri.
“Aku bukan pelacur, aku MUSLIMAH!”








Air Didasar Gelas Arak 19.45

Air Didasar Gelas Arak
Coretan Virqi Wahyuning Bianti

Setiap perjalanan selalu ada ujungnya
Merujam segala hantaman
Diderai oleh jiwa yang membara
Ketika api menyala dan siap melahap mangsa setiap detik-detik waktunya

Sampai waktupun berikan jalannya
Sesuatu yang berarti terjerumus menuju lubang penderitaan
Dimana siksaan menyayat batin
Menyiksa jiwa yang tak berdosa

Semua berontak …
Semua menjerit …
Semua menangis …
Bila waktu berputar balik
Semua akan memilih tuk jauh dari gerbang kesesatan
Sebab dunia menjadi hampa karenanya
Sunyi karena genggamannya

Tak berarti,
Sungguh tak berarti jalani hidup dalam kekalahan
Dalam kebohongan, betapa semakin tak berarti
Semakin terpuruk dan terus menghilang, lenyap,
Menjadi kelam penuh kesakitan

Hingga kini kerinduan menghampiri,
Tuk menjumpai padang rumput hijau yang membentang
Penuh ketenangan, kebebasan, dan ketentraman,
Serta birunya langit yang menghiasi angkasa

Sungguh rindu
Dan tuk tatap jumpa dengan pesona indahnya dunia
Yang kini berubah menjadi kegelapan dalam kesalahan
Dan menghilang di tengah ketidakbergunaan

Ingin bebas namun terlambat
Hidup ini terasa bagai air di dasar gelas arak
Sakit dan menyiksa

Di dalam dunia ancaman
Semua ingin bebas tuk rasakan dunia keindahan
Semua rindu,
Rindu tuk kembali dalam dunia kehijauan,
Bukan tuk hinggap dalam dunia kesengsaraan

Wisatawan


ShoutMix chat widget

Pengiring baca